Sabtu, 07 Februari 2009

Mengolah Jamur dengan Iptek

JAKARTA - Mencegah flu burung dengan jamur? Jangan terkejut, dengan dukungan Iptek yang canggih, hal itu mungkin saja dilakukan.

Jangan sepelekan jamur. Jika diproses dengan teknologi tepat bisa menangkal banyak penyakit, termasuk flu burung yang tengah mewabah kini. Untuk menuju ke arah itu kita perlu banyak belajar dari Cina, negara yang sudah berpengalaman ratusan tahun dengan khasiat jamur.

Inilah yang melatari digelarnya ASEAN-China Workshop on Development of Edible Mushroom Industri di Jakarta, 26 September-1 Oktober 2005. “Kita akan bekerjasama dengan Cina dan negara-negara ASEAN untuk saling bertukar informasi Iptek seperti bagaimana metode penanaman dan teknik panen yang efektif bagi pengambangan industri jamur,” ujar Bambang Setiadi, Deputi Menteri Negara Bidang Program Riptek Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kepada pers di Jakarta, Senin (26/9).

Indonesia sejauh ini memiliki potensi industri jamur cukup kaya mengingat banyaknya lahan. Bahkan untuk jamur merang alias champignon, Indonesia merajai ASEAN. “Tahun 2004 saja kita berhasil memproduksi jamur merang sebesar 5.500 ton, dan hanya lima persen untuk kebutuhan dalam negeri, sisanya ekspor,” ujar Wahono, Kepala Deputi Teknologi Argoindustri dan Bioteknologi BPPT dalam kesempatan serupa. Hanya semua jamur tadi diolah untuk keperluan pangan. Nilai ekspor jamur Indonesia sekitar 19 juta dolar AS pada tahun 2003 Pada tahun itu juga Indonesia mengimpor jamur senilai 1,2 juta dolar AS.

Kemampuan kita mengolah jamur untuk kebutuhan medis masih tipis dibanding dengan Cina. Padahal Indonesia dengan iklim tropisnya memiliki keragaman hayati tinggi termasuk jamur yang berpotensi sebagai pemicu daya tahan tubuh sekaligus juga obat antikanker. Jamur mengandung golongan senyawa bergizi tinggi seperti serat pangan, oligosakarida, gula alkohol, asam lemak tak jenus polyunsaturated fatty acids (PUFA), peptida, protein tertentu, glikosida dan banyak lagi.

Tidak heran kalau Negeri Cina terkenal dengan obat-obat tradisionalnya yang berkhasiat tinggi, karena memang mereka sudah lebih dulu berpengalaman mengolah jamur sebagai bahan medis.
Polisakarida merupakan senyawa yang paling berperan dalam jamur. “Fungsi polisakarida antara lain meningkatkan daya tahan tubuh, memperkuat resistensi mahluk hidup, menstimulasi fungsi leukosites terhadap sel abnormal dan patogen,” papar Dr. Yan Yang, peneliti jamur dari Institute of Edible Fungi, Shanghai Academy of Agricultural Sciences, Cina. Maka sejumlah jenis jamur punya manfaat sebagai bahan antikanker. Sebut saja jenis P. ostreatus yang bisa menghambat tumor hingga 95 persen. Juga P. dryinus yang bisa menghambat tumor tenggorokan.

Pengolahan
Proses pengolahan jamur ini sesuai dengan dipaparkan oleh Yan Yang, melalui tahap penghancuran dengan menggunakan air atau ethanol. Setelah itu masuk tahap ekstraksi dengan cairan atau gelombang ultraviolet. Dari situ kemudian ke tahap pemisahan alias separasi dengan filtrasi, sedimentasi, kromatografi dan sejenisnya. Setelah itu dilakukan proses pengeringan dengan teknik pengeringan vakum, semprot maupun pembekuan. Ketika sudah dalam bentuk bubuk, jamur dikemas ke bentuk kapsul, tablet atau granula. Terakhir adalah tahap pemaketan dan sterilisasi.
Saat ini Cina masih memegang peringkat pertama produksi jamur dunia, yakni 60 persen dari total produksi. Selain proses pengolahan, negara tersebut lumayan menguasai tahap penanaman atau kultivasi hingga metode panen.
Indonesia, walau memiliki lahan dan keragaman jamur cukup tinggi masih menghadapi sejumlah kendala dalam pengembangannya. Ini disebabkan Indonesia belum memiliki bank miselium yang sangat diperlukan untuk mendapatkan bibit yang berkualitas tinggi dan terstandar. Kendala lain adalah kita masih minim akan pengetahuan tentang media yang efisien dan diversivikasi substrat. Belum lagi terbatasnya data potensi medis tiap jenis jamur yang belum diketahui secara utuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bubbly